Kita beriman dengan wajibnya bagi setiap umat ini berpegang dengan AlQuran dan Sunnah. Keduanya saling melengkapi antara satu sama lain dan tidak mungkin boleh bagi kita meninggalkan salah satu daripadanya. Namun adakah kita tahu bagaimana cara berpegang dengan keduanya jika kita tidak pernah mempelajarinya?  Kita tidak pernah tahu akan dalil dari Alquran dan Sunnah bagi setiap amalan dan pegangan akidah kita. Oleh tu kesesatan umat ini adalah kerana meninggalkan Alquran dan Sunnah dan mengambil ajaran yang tidak pernah ada asalnya dari kedua sumber tersebut. 



Perhatikan wahai saudara dan saudariku yang seiman, bagaimanakah keadaan jika amalan dan pegangan akidah kita ini tidak pernah diwahyukan oleh Allah azza Wajjala kepada nabi shallalahu Alaihi wassalam? Masihkah kita dikatakan beriman namun Akidah dan amalan kita tidak sama dengan Nabi dan sahabatnya? Dari manakah kita mengambil agama ini? Jika tidak dari sumber wahyu, maka sudah tentu ia dari syaitan yang menjadi musuh kita. Tidak pernah jemu untuk mengeluarkan kita dari jalan yang lurus. Iaitu jalan yang haq yang telah ditempuh oleh umat sebelum kita yang terdiri dari para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin.

‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: 

‘Ini jalan Allah yang lurus.’

 Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: 

‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: 

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-berai-kan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153]

Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir an-Nasa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).